“Ingat Cak, itu Aceh. Negeri yang penuh dengan tipu daya dan pengkhianatan sejak zaman dulu.”

oleh Rusdi Mathari
Jumat malam silam, Nurlis Effendi Meuko baru saja tiba di kantornya ketika ponselnya berdering. Jarum jam belum lagi menunjuk angka 9. Dia melihat di layar ponselnya tertera nama Irwandi Yusuf. Nurlis mengangkat panggilan ponsel itu, lalu dari pengeras suara ponsenyal langsung terdengar serentetan kata cercaan dan hinaan dari Irwandi dalam bahasa Aceh.

Ok ma khah, pap ma kah. Pu ka tuleh keu kee. Ha na kupeugah lagee yang katuleh” [Sialan ibu kau. Apa kau tulis tentang aku? Enggak ada aku katakan seperti yang engkau tuliskan…]. Begitulah Irwandi memaki Nurlis.  Suaranya kencang. Penuh  amarah. Kerongkongan Nurlis tercekat tapi dia berusaha tenang, “Baik Bang saya cek dulu berita itu.”

Pangkal persoalan kemarahan Irwandi memang soal berita tentang dirinya yang ditulis Atjeh Post. Nama yang disebut terakhir adalah situs berita yang didirikan oleh Nurlis dan Yuswandi A. Suud [keduanya pernah menjadi wartawan Tempo]. Nurlis menjabat direktur utama, dan Yuswandi adalah direktur produksi merangkap pemimpin redaksi.

Kamis silam, 16 Februari 2012, media mereka memuat pernyataan Irwandi sebagai berita di bawah judul “Irwandi: Partai Lokal yang Sudah Ada Tak Akan Hidup Lagi.” Berita itu ditulis Reza Gunawan wartawan Atjeh Post. Isinya mengutip pernyataan Irwandi yang antara lain menyatakan, partai lokal yang sudah ada tidak akan hidup lagi di Aceh. Berita itulah yang menyulut kemarahan Irwandi. Dia merasa tidak pernah menyatakan seperti yang ditulis Atjeh Post.

Irwandi lantas menghubungi Nurlis Jumat malam itu, lalu memaki dan mengancam. “Nyoe kuyu si Yan nyak ji-bhan kah” [Ini aku suruh si Yan untuk bhan kau]. Menurut Nurlis seperti dikutip Tempo.co [online], kata bhan adalah istilah yang digunakan oleh anggota GAM di zaman DOM dan darurat militer. Artinya tembak mati. Namun kata Irwandi, kata bhan yang dimaksudnya adalah banned dalam bahasa Inggris. Artinya dilarang.

Siapa Yan?

Nurlis menduga, Yan yang disebut Irwandi adalah Sofyan Dawood [sebagian media menulis Sofyan Daud], eks panglima GAM dan kini menjadi ketua pemenangan untuk Irwandi dalam Pilkada Aceh 2012.

Tidak sampai 15 menit, Irwandi melanjutkan kekesalannya ke Nurlis lewat pesan Blackberry. Dia terus memaki. Penjelasan Nurlis bahwa sebagai wartawan dia hanya sekadar menulis, tidak digubris oleh Irwandi. Sebaliknya Irwandi tetap mengancam. Ketika Nurlis bertanya, mengapa Irwandi menistakan  ibunya dan mengancam membunuh dirinya; Irwandi malah membalas, Nurlis harus menjelaskan motif di balik berita Atjeh Post.

Karena ancaman itulah, Nurlis lalu mengontak beberapa orang termasuk kapolda Aceh dan wartawan di Jakarta. Nurlis mengaku tidak melaporkan ancaman itu ke polisi, tapi tidak menjelaskan alasannya.

Sabtu, 18 Februari 2012, Tempo.co menulis bantahan Irwandi soal ancaman itu di bawah judul “AJI Banda Aceh: Berita Irwandi Salah Kutip.” Isinya kurang lebih menyatakan, Atjeh Post telah memelintir pernyataan Irwandi. Entah mengapa, berita yang bersumber dari sebuah milis itu kemudian dihapus oleh Tempo.co tanpa penjelasan. Siangnya Tempo.co menulis berita susulan yang bersumber dari Nurlis, dan berita tentang bantahan Irwandi [lihat: “Mantan Gubernur Aceh Ancam Wartawan” dan “Irwandi Yusuf Bantah Ancam Wartawan”].

Beberapa jam sesudahnya, Atjeh Post memuat hak jawab yang dikirimkan pihak Irwandi dan satu berita yang memuat lengkap transkripsi rekaman tanya-jawab Irwandi dengan wartawan Atjeh Post di Hermes Palace, Banda Aceh; yang dua hari sebelumnya jadi bahan berita Atjeh Post. Minggu 19 Februari 2012, Tempo.co menurunkan berita “AJI Banda Aceh Koreksi Berita Soal Ancaman terhadap Wartawan.” “Barangkali kami memang salah kutip,” kata Nurlis.

Kemelut Partai Aceh
Benar, suhu politik di Aceh menjelang pilkada tahun ini memang cenderung memanas. Dua kandidat yang paling banyak mendapat sorotan adalah pasangan Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan, dan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf.

Di zaman DOM dan darurat militer, Irwandi, Zaini, dan Muzakir adalah eks petinggi GAM. Di zaman Aceh damai, mereka membentuk partai lokal: Partai Aceh. Partai itu menampung aspirasi politik dari para pejuang GAM. Irwandi bahkan menjadi salah satu juru kampanye Partai Aceh yang utama di musim Pelimu 2009. Belakangan, partai itu dirundung kemelut dan diambang perpecahan karena urusan kekuasaan menjelang pilkada 2012.

Menurut Sofyan, sejumlah eks panglima GAM termasuk dirinya dan Irwandi dipecat dari dari Partai Aceh. Alasanya, mereka dianggap mendukung Irwandi sebagai calon gubernur dalam musim pilkada tahun ini tapi Sofyan tidak spesifik menyebutkan Partai Aceh telah pecah. Dia  menyebutkan, Partai Aceh bukan GAM tapi orang-orang GAM ada di Partai Aceh. Pihak Irwandi karena itu akan mendirikan partai baru dengan dukungan dari banyak eks panglima GAM sebelum pelaksanaan pilkada 9 April mendatang.

Sebaliknya kelompok Zaini-Muzakir menyatakan Partai Aceh tidak pecah dan masih solid. Benar, kata Fachrul Razi [Juru Bicara Partai Aceh] di Partai Aceh kini ikut bergabung sejumlah eks jenderal TNI yang pernah bertugas di Aceh. Namun masuknya para jenderal TNI itu, kata dia, justru menunjukkan Partai Aceh sebagai partai terbuka.

Beberapa jenderal yang disebut-sebut bergabung dengan Partai Aceh adalah dua pensiunan mayor jenderal yaitu Sunarko dan Djali Yusuf. Keduanya pernah menjabat sebagai panglima Kodam Iskandar Muda. Jenderal lainnya adalah Sulaiman AB, eks komandan Detasemen Polisi Militer.

Suhu politik Aceh yang memanas itulah yang kemudian juga berimbas ke media. Seorang kawan di Banda Aceh mengabarkan, beberapa wartawan di Aceh bahkan disebut-sebut terlibat sebagai bagian dari tim sukses calon gubernur Aceh tertentu. Beberapa media ikut  menjadi partisan. Berita-berita soal pilkada di Aceh itu kemudian menjadi semacam berita kampanye yang menguntungkan atau tidak menguntungkan salah satu calon gubernur.

Bagaimana dengan Nurlis dan Atjeh Post?

Nurlis mengakui, dirinya dan AtjehPost diisukan menjadi bagian dari Partai Aceh dan menjadi tim sukses Zaini-Muzakir. Namun dia mempersilakan orang-orang yang menudingnya membaca berita-berita yang dimuat di Atjeh Post dan menilainya. “Kami membuka ruang yang sama untuk semua pihak di Aceh. Selama ini, sejumlah media di Aceh  menutupi informasi tentang Partai Aceh, dan juga tentu saja untuk Muzakir Manaf,” katanya.

Atjeh Post kata Nurlis dirikan bersama Yuswandi dengan modal patungan Rp 5 juta. Kantornya di lantai 2 sebuah  ruko tempat pencucian baju [binatu]. Dan sejak didirikan setahun lalu, Atjeh Post kata Nurlis, sering dituding sebagai media yang berpihak kepada kelompok tertentu.

Awalnya, Atjeh Post dituduh sebagai media “milik” Irwandi karena menulis hal-hal yang baik tentang Irwandi dan pemerintah daerah Aceh. Giliran Atjeh Post menggarap tabloid Beranda milik Partai Aceh, Atjeh Post dituding berpihak kepada Muzakir dan Partai Aceh. Belakangan, ketika Nurlis dan Yuswandi memutuskan membenahi dan menutup sementara Atjeh Post November tahun lalu, mereka pun menuai tuduhan baru. “Ada yang bilang saya dibayar Irwandi untuk menutup Atjeh Post agar tak mengkritiknya lagi,” katanya.

Nurlis bercerita, saat menutup sementara Atjeh Post memang muncul banyak tawaran bantuan dana dari sejumlah tokoh di Aceh untuk mengongkosi operasial redaksi. Antara lain dari Irwandi, Muhammad Nazar [wakil gubernur Aceh yang kini juga maju sebagai calon gubernur], dan beberapa pengusaha Aceh. Muzakir Manaf bahkan langsung menelepon Nurlis dan menawarkan bantuan Rp 3 juta per bulan tapi ditolak oleh Nurlis.

“Bang [Muzakir menyapa Nurlis, Bang] tetap netral  ya, jadikan Atjeh Post milik orang Aceh jangan jadikan milik kelompok atau perorangan. Saya percaya droneueh [Anda],” kata Nurlis.

Namun semua tawaran itu ditolak oleh Nurlis hingga tiga hari lalu itu, dia menarima ancaman bunuh dari Irwandi karena berita di Atjeh Post.  Ancaman itu sekaligus melengkapi ancaman-ancaman serupa yang diterima wartawan di tempat lain karena pekerjaannya.

Awal bulan ini, Bambang Wisnu Dwi Wardana wartawan di Mojokerto, Jawa Timur diancam ditembak oleh H Abdul Muchid, Ketua Ketua Panitia Pembangunan Masjid Agung Darussalam dan eks ketua GP Anshor Kabupaten Mojokerto. Ancaman itu muncul lantaran Bambang memberitakan kasus dugaan korupsi dana pembangunan masjid yang diketuai Muchid itu.

Desember tahun lalu, Endang Sidin wartawan Erende Pos, Nusa Tenggara Timur diancam dibunuh gara-gara memberitakan John Therik, PNS di Satpol PP Rote Ndao memenangi tender proyek. Dua bulan sebelumnya, Roi Sibarani [wartawan Papua Barat Pos] dan Budy Setiawan [kontributor Trans TV] menerima SMS yang berisi ancaman bunuh.

Nurlis bercerita, setelah ada ancaman bunuh kepada dirinya, dia tidak berani keluar Kantor Atjeh Post. Dia sebetulnya bisa saja meninggalkan Banda Aceh dan tinggal di Jakarta, tapi dia mengaku harus bertanggung jawab terhadap para wartawan dan karyawan yang bekerja di Atjeh Post. “Saya menghubungi beberapa orang hanya untuk menyampaikan ancaman itu ada, dan kalau ada sesuatu yang paling buruk, saya setidaknya telah meninggalkan jejak,” katanya.

Kemarin, seorang wartawan berdarah Aceh dan lama bertugas di Aceh mengirimkan email.  Dia menyampaikan kekuatirannya terhadap nasib Nurlis, karena ancaman bunuh dari Irwandi terhadap Nurlis bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga, yang entah siapa. Kalau ancaman itu menjadi kenyataan, kata dia, maka Irwandi-lah yang bisa dituduh. ”Ingat Cak, itu Aceh. Negeri yang penuh dengan tipu daya dan pengkhianatan sejak zaman dulu,” kata dia.

Saya tidak mengiyakan pendapat kawan itu, dan lebih berpikir untuk menyelamatkan Nurlis, wartawan yang saya kenal gigih karena sikap dan prinsipnya.