Setiap menjelang pergantian tahun, buku-buku tentang ramalan bintang banyak diserbu pembeli. Sebagian orang mendatangi peramal untuk melihat peruntungan mereka. Bagaimana asal-usul dunia ramal meramal itu?

Oleh Rusdi Mathari

BITBERG, Jerman Barat pada suatu hari di tahun 1987. Ronald Reagan, Presiden Amerika Serikat yang ke 40, hari itu akan menghadiri upacara peletakan bunga untuk menghormati tentara Jerman yang tewas dalam Perang Dunia II. Sesuai jadwal protokoler dari ke dua negara, acara itu akan dilakukan pagi-pagi sekali tapi justru karena soal waktu itulah, Nancy Reagan, istri sang presiden khawatir. Bukan karena Reagan tak tahan udara pagi melainkan karena Nyonya Reagan percaya bahwa waktu pagi hari yang dijadwalkan pada acara itu, tidak baik buat keselamatan suaminya. Setidaknya akan buruk dari segi publikasi. Apakah rasa was-was Nancy itu berdasarkan laporan CIA, FBI atau intelejen Jerman? Bukan.

Sebagai perempuan yang percaya pada ramalan nasib, sebelumnya dia meminta astrolog terkenal Joan Quigley untuk memeriksa jadwal presiden di Bitberg tadi: apakah ada yang harus diubah guna menghindari kesialan. Quigley –yang selama bertahun-tahun menyiapkan horoskop untuk para aktor dan aktris terkenal— lantas menyiapkan horoskop seperti yang diminta Nancy.

Seperti diceritakan sang astrolog dalam buku What Does Joan Say dia lantas memberi rekomendasi kepada istri presiden bahwa pagi hari bukan waktu yang baik untuk melaksanakan upacara. Menurut Quigley pukul 11.45 akan lebih menguntungkan karena pada saat itulah planet dan bintang berada dalam posisi yang “bagus”.

Berdasar keterangan Quigley itulah Nancy lalu mendesak pembantu presiden untuk mengubah waktu upacara meskipun hal itu tentu saja sulit dilakukan. Alhasil upacara tetap berlangsung dan Reagan tetap baik-baik saja. Publikasi media malah melambungkan nama presiden dari partai Republik tersebut karena merupakan presiden Amerika Serikat pertama yang bersedia mengunjungi kuburan para tentara Jerman, sejak PD II.

Dalam buku yang sama Quigley memberikan alasan mengapa dia membuat perubahan itu. “Pada waktu saya memilih, matahari yang menguasai peristiwa itu berada di tempat yang tinggi yaitu di ‘rumah ke-10′ sebuah ‘tempat’ kehormatan besar dan penuh prestis. Matahari dan Leo Asendan yang bangga, terhormat dan bermartabat, menggambarkan hakikat peristiwa itu. Jupiter, planet kebajikan dan kehendak baik, menggambarkan publik. Dua planet di ‘rumah ke-9’ menunjukkan perhatian dunia dan Mars di ‘rumah ke-10’ memperlihatkan semacam kemenangan.”

Belakangan ikhtiar yang dilakukan Nancy yang bersandar pada hitungan perbintangan dari ahli astrologinya menimbulkan banyak pertanyaan. Kalangan pejabat protokol Amerika dan Jerman menilai permintaan Nancy sebagai sesuatu hal yang kontroversial, yang tidak mungkin dituruti karena bukan berdasarkan laporan intelejen, misalnya soal adanya ancaman pembunuhan dan sebagainya. Sebagian dari mereka mengatakan dengan bahasa yang lebih lugas bahwa permintaan Nyoya Reagan itu adalah sesuatu yang sungguh aneh.

Nancy adalah orang yang taat beragama tapi selama bertahun-bertahun pula dia menggantungkan segala kegiatan hidup pribadi dan keluarganya dengan mempercayai astrologi terutama semenjak Reagan menghuni Gedung Putih pada 1981. Selama bertahun-tahun sejak itu, sang astrolog yang dipercaya oleh Nancy konon dibayar dengan honor yang lumayan besar. Hanya Nancy-kah warga Amerika yang percaya pada astrolog? Tidak ternyata.

Sebuah jajak pendapat yang pernah dilakukan di negara tersebut memperlihatkan, satu dari empat orang di Amerika Serikat percaya pada ramalan bintang. Banyak di antara mereka, membaca horoskop harian di koran dan berusaha untuk mengikuti nasehat-nasehat yang diberikan para astrolog. Di negara itu juga banyak buku yang membahas perbintangan –dan kaitannya dengan nasib manusia— yang diterbitkan dan laris terjual. Beberapa orang bahkan bersedia membayar mahal para astrolog untuk menyiapkan horoskop pribadi guna membantu mengambil keputusan penting. Hal yang sama, juga banyak terjadi di Indonesia, negara dengan mayoritas muslim.

Namun para astrolog yang menyiapkan ramalan bintang itu selalu punya penjelasan terhadap apa yang mereka lakukan. Mereka mengaku hanya mempraktekkan “ilmu” yang baik, yang didasarkan pada “fakta”: cukup dengan mengetahui informasi, hari dan tanggal kelahiran seseorang, menurut mereka watak seseorang dan bagaimana nasibnya kelak saat dewasa, sudah bisa diramalkan.

Dalam banyak pengakuan kepada publik, mereka juga mengatakan bisa meramalkan apakah suatu hari baik atau buruk bagi seseorang untuk melakukan kegiatan atau tidak melakukan kegiatan. Berdasarkan ramalan itu mereka kemudian bisa menasehati atau merekomendasikan waktu yang harus dipilih untuk melangsungkan pernikahan, memulai bisnis, mengadakan perjalanan jauh, dan sebagainya.

Dalam buku How Do You Know It’s True? karangan Hyman Ruchlis disebutkan, para astrolog itu mengaku dapat melakukan semua ramalan itu hanya dengan membuat horoskop untuk masing-masing waktu dan tempat. Meja astronomi mereka gunakan untuk menggambarkan secara tepat di mana letak matahari, bulan, planet dan gugusan bintang berada, atau akan berada di langit pada waktu dan tempat tertentu.

Mereka juga mengatakan aturan-aturan astrologi yang rumit bisa digunakan untuk meramalkan nasib seseorang. Misalnya apakah nasib dari kegiatan seseorang –yang ditanyakan kepada mereka— itu baik atau buruk. Jika mereka memutuskan waktunya tidak baik, mereka menyatakan mampu memberikan alternatif waktu dan hari apa yang lebih baik. Luar biasa? Tunggu dulu.

Waktu membuktikan, selain permintaan Nancy dianggap “mengada-ada” dalam kasus di Bitberg itu, rekomendasi Quigley pun lantas banyak menuai pertanyaan atau mungkin tepatnya adalah kritik terutama dari mereka yang mengandalkan ilmu pengetahuan dan menolak semua yang berbau nujum dan ramalan. Dari rekomendasi waktu yang cocok untuk Reagan itu, misalnya, ditanyakan, mengapa matahari di langit yang tinggi (“di tempat yang sangat tinggi”), dan di bagian langit tertentu (“rumah ke-10”), membawa “prestise dan kehormatan” bagi upacara kepresidenan? Apakah matahari memiliki otak yang dapat memahami, apa yang terjadi di bumi pada upacara di tempat tertentu yang disebut Bitberg? Apakah matahari melakukan hal yang sama terhadap jutaan peristiwa manusia lain yang terjadi di mana-mana di seluruh dunia pada waktu yang sama?

Mengapa pula “dua planet di rumah ke-9” memberikan lagi “perhatian dunia” lebih banyak lagi daripada yang sudah dimiliki sementara acara Reagan di Bitberg sudah mendapatkan liputan dari stasiun televisi dan radio di seluruh dunia? Bagaimana Mars memberikan “kemenangan” pada upacara kepresidenan semacam itu apapun caranya?

Pertanyaan-pertanyaan “mengapa” yang sulit lainnya masih banyak namun tidak pernah dijawab oleh para astrolog. Tak mampukah mereka menjawab? Menurut Ruchlis, tidak.

Para astrolog itu terikat dengan aturan permainan rumit yang disebut astrologi—sesuatu yang dianggap Ruchlis seperti permainan monopoli yang membabi buta. Mereka mempelajari aturan-aturan main dengan masuk sekolah khusus atau membaca buku. Sebagian besar aturan itu ditemukan dan sudah digunakan para astrolog yang hidup lebih dari 2.000 tahun silam. Dan itulah yang menjadi persoalan.

Karena aturan-aturan itu ditaati begitu saja oleh para astrolog generasi selanjutnya hingga sekarang tanpa ada usaha untuk membuktikan: apakah yang mereka lakukan benar atau salah. Sejumlah astrolog yang lebih kreatif memang menemukan aturan mereka sendiri, menuliskan dalam buku lalu mengajarkan kepada orang lain. Namun menurut Ruchlis, mereka juga tak mampu bertanya dan menjawab pertanyaan “mengapa” tadi.

“Rumah” di langit yang dipandang Quigley sebagai begitu penting dalam hubungannya dengan ramalan pada upacara di Bitberg adalah salah satu dari banyak aturan main yang ditentukan tadi. Semacam bagian-bagian imajiner seluruh komponen penghuni langit dari utara ke selatan.

Kebanyakan astrolog membagi langit menjadi 12 “rumah” tapi sejumlah astrolog lain membaginya menjadi 8, 20, dan 24 bagian atau sejumlah bagian lain. Dengan menggunakan cara berpikir dongeng seperti itu tanpa bukti sama sekali, mereka lantas membayangkan masing-masing rumah memiliki sejumlah kontrol atas satu segi kehidupan manusia.

Namun sekali lagi, tidak seorang pun dari mereka pernah melakukan percobaan demi percobaan untuk mengetahui apakah “rumah-rumah” bayangan mereka di langit itu sungguh-sungguh bisa mempengaruhi orang seperti yang mereka katakan atau sebaliknya tidak. Padahal dengan cara berpikir dongeng semacam itu maka apa pun yang dibayangkan sebagai benar oleh sembarang astrolog mana pun tentu akan selalu dianggap benar.

Soal nama pada gugusan benda-benda langit pun menurut Ruchlis sebenarnya tak lepas dari cerita dongeng. Leo atau singa yang disebut-sebut oleh Quigley, misalnya, sebenarnya hanya meminjam mitologi Yunani kuno, tentang gagasan seekor singa di langit.

Syahdan, Orion –yang digambarkan sebagai pemburu—berhasil memenangkan pertarungan hebat membunuh seekor singa ganas, di hutan Nimea. Jupiter, ketua para dewa terkesan dengan kehebatan Orion dan sebagai penghargaan dan penghormatan kepada Orion, Jupiter lantas memaku secara permanen singa yang sudah mati itu di langit. Dari cerita itulah gugusan atau rasi bintang bernama Leo berasal meskipun tidak sedikitpun gugusan itu benar-benar menyerupai singa bahkan juga tidak mirip. Gugusan bintang lainnya, seperti yang digambarkan mirip manusia, ikan, atau hewan dan benda-benda lainnya, seperti yang dibayangkan oleh para astrolog zaman dulu.

Untuk membuktikannya, tengoklah langit pada suatu malam yang cerah lalu saksikan gugusan-gugusan bintang. Buktikan apakah bentuknya memang mirip dengan manusia, hewan, atau benda lain, seperti yang selama ini melekat: Pisces untuk ikan, Libra untuk timbangan, dan sebagainya, atau ternyata hanya imajiner dan rekaan para ahli nujum.

Kaum astrolog Romawi kuno bahkan menggunakan nama yang sama untuk dewa dan planet. Mereka menganggap dewa dan planet hampir-hampir sama. Dari sana, mereka menemukan cara untuk mencari “petunjuk”, misalnya soal planet Mars.

Warna Mars yang terlihat kemerah-merahan digambarkan sebagai darah dan karena itu identik dengan perang atau kekerasan. Dan perang hanya dilakukan oleh laki-laki kuat pemberani yang memimpikan kemenangan. Dengan analogi longgar semacam itu, kaum astrolog itu lantas membayangkan, Mars adalah dewa penguasa perang, kekerasan, keberanian, kejantanan, keprajuritan, dan kemenangan— dan sifat-sifat lain serupa itu yang dapat mereka bayangkan.

Analogi yang sama longgarnya digunakan pula untuk memberikan predikat kepada Jupiter. Karena terlihat lambat melintasi langit dibanding Mars dan Venus, Jupiter lantas dibayangkan sebagai planet yang lebih tua. Ia kemudian dianggap sebagai ketua dewa karena dianggap lebih matang, bijaksana, dan murah hati.

Sebaliknya Merkurius yang terdekat jaraknya dengan matahari dan karenanya bergerak lebih cepat dibanding planet-planet manapun, dibayangkan sebagai dewa muda dan gesit. Merkurius sering pula digambarkan memiliki sayap di kaki dan digambarkan sebagai utusan yang melayani para dewa. Lalu para astrolog kuno sampai pada satu kesimpulan, bahwa planet itu bertanggungjawab atas kegiatan transportasi, komunikasi, bisnis, dan perdagangan.

Sementara Venus yang cemerlang yang bisa disaksikan di langit yang subuh, dilukiskan sebagai dewi yang mempengaruhi kecantikan, cinta dan hal-hal kewanitaan lainnya. Untuk hal-hal duniawi yang dianggap lebih merugikan daripada menguntungkan, astrolog zaman kuno mengaitkannya dengan gerakan Saturnus yang bergerak paling lambat di antara planet lain.

Semua kegaiban di luar kodrat semacam itulah, sedikit contoh dari cara berpikir dongeng para astrolog. Sedikit sekali kalau tidak mungkin dikatakan sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang bisa dilihat dalam dunia nyata. Dari analogi yang selalu digunakan, semakin ketahuan bahwa para astrolog hanya percaya begitu saja dan apapun yang mereka pilih sebagai benar, sungguh-sungguh dianggap demikian adanya.

Menjelang pergantian tahun, kini beribu-ribu buku dan media tentang horoskop diterbitkan setiap hari di dunia termasuk di Indonesia. Media cetak dan elektronik juga menyediakan rubrik khusus untuk membahasnya. Tapi tak pernah ada penjelasan kepada para publik bahwa semua itu hanya berdasarkan pada tahayul zaman dulu dan karenanya hanyalah sebuah dongeng.